THE MOST WANTED PERSON RIGHT NOW!!: LAKI-LAKI DEWASA DAN BERTANGGUNG JAWAB

Bojone anakku kie mbak, sudah dua tahun tidak menafkahi lahir batin!!!.  Anakku kie dikonokke mung meneng wae. Sedih aku anakku disio-sio ngene

(Suami anakku tu mbak, selama dua tahun sudah tidak menafkahi. Anakku diam saja diperlakukan seperti itu. Sedih rasanya melihat anakku disia-siakan)

Si ibu tersebut berbicara kepada saya dengan ekspresi wajah yang nampak lelah namun menyimpan kemarahan. Nampak nafasnya tersengal-sengal, beberapa kali nampak menghembuskan nafas serta wajah merah. Beliau nampaknya enggan menjawab lebih lanjut pertanyaanku yang ingin tahu lebih detil bagaimana maksud si suami anak ibu disebut tidak bertanggung jawab.

Wis pokoe rak tanggung jawab mbak, padahal saiki nduwe anak siji barang (pokoknya ya tidak bertanggung jawab. Apalagi saat ini sudah punya satu anak)

Saat itu aku sedang sedang duduk dengan posisi berada di depan beliau di ruang tunggu persidangan pengadilan agama. Di pengadilan agama tersebut aku diminta oleh seorang teman menjadi saksi persidangan kasus perceraiannya. Pernikahan temanku baru berjalan 1 tahun namun sudah tidak dapat dipertahankan karena si pihak tergugat (suami) tidak menafkahinya lahir dan batin. Temanku justru yang selama ini membiayai kehidupan rumah tangga dari pangan, kebutuhan sehari-hari bahkan Sst, untuk nafkah batin pun juga temanku ini yang berusaha luar biasa (itupun tidak mendapat respon menyenangkan).  Rumahpun mereka tinggal di tempat si istri. Dan apa yang dilakukan si tergugat??

Suami temanku ini rupanya memiliki hutang dari kartu kredit dalam jumlah besar (temanku bahkan tidak tahu berapa besar jumlah hutangnya) dan aku mengamati dia tidak peduli dengan kehadiran istrinya. Dia lebih banyak menghabiskan waktu bersama mahasiswanya di kampus bahkan di luar kampus serta tidak ada usaha untuk berinteraksi serta berkomunikasi lebih intim dengan temanku sebagai istri.

Di sesi terakhir aku bersaksi, salah satu bapak Hakim anggota bertanya, apakah pernikahan penggugat dan tergugat masih dapat dipertahankan, mungkin bisa disatukan lagi lewat mediasi dengan bantuan mbak sebagai Psikolog atau konselor Perkawinan???

I said NO sir, Pondasi mereka berdua di awal sajakurang kokoh. Ketika mempersiapkan pernikahan temanku sudah merasakan tanda-tanda si laki-laki ini tidak memiliki niat serius untuk menikah. Untuk hal-hal kecil seperti mengurus surat nikah, foto-foto pernikahan itu harus didesak dan diuruskan oleh temanku. Alasan tersebut bukan karena si laki-laki ini sibuk dengan pekerjaannya. Aku juga mendengar bahwa si laki-laki mau menikah karena alasan temanku sudah memiliki rumah peninggalan orangtua. So, dia ingin punya tempat untuk tinggal gratisan??

Kisah Lain

Lain cerita, ada seorang teman yang berkonsultasi bahwa saat ini tengah bimbang dan sudah mati rasa dengan suami serta pernikahannya. Dia nampak lelah dan ingin mengakhiri kehidupan pernikahannya karena tidak kuat menikah dengan suami yang menurutnya kekanak-kanakan. Aku sendiri menyimpulkan suami temanku belum siap menjadi suami, kepala keluarga serta ayah karena masih berkutat dengan unfinished bussiness masa lalunya. Suami nampak ogah-ogahan ketika diajak mengikuti kelas persiapan persalinan oleh istrinya bukan karena dirinya sibuk bekerja dan tidak ada waktu.  Ketika temanku dalam proses pemulihan pasca persalinan cesar, si suami ini justru mengeluh tidak diurus ketika dirinya sakit flue dan tidak ada waktu untuk menengok putrinya yang baru lahir karena menjalani pernikahan beda kota. Bahkan sempat nyeletuk, lhooo bukannya yang mau anak ini adalah kamu?? (nunjuk temanku).

Noted dari aku yang gemez: Aduh mas, kalau udah menikah ya itu adalah tanggung jawabmu juga to kalau punya anak???

Usia Sebagai Tekanan Untuk Menikah???

Apa yang dikatakan orang sekitar tentang teman-temanku ini?
Ibu mertua teman yang aku jadi saksi perceraiannya pernah berkata, Mbak kan sudah berumur makanya, saya pengen cepat-cepat menikahkan anakku sama embak. Nanti tolong dijaga ya mbak anak saya ini.

Lagi-lagi usia sebaiknya tidak jadi patokan seorang wanita dan desakan lingkungan untuk segera menikah. Menurutku, imho (in my humble opinion)  memutuskan menikah karena usia serta desakan lingkungan sekitar adalah bukan alasan tepat bahkan sangat berisiko jika niat, komitmen, pondasi lahir dan batin masing-masing pihak baik wanita maupun pria belum kokoh.

Selain usia, semata-mata sudah mentok karena merasa cinta, merasa sudah klik adalah alasan yang menurutku wajib ladies waspadai. Aku pernah dibilang picky (pemilih) dan mementingkan karier dengan kondisiku yang sekarang single. Yups, Anda salah besar!.  Aku justru merasa mudah jatuh cinta dengan tipe laki-laki tertentu dan kadang sulit melepaskan perhatian darinya meskipun  dia dalam posisi tidak available atau not that into me. Aku orang yang sangat merasa sedih dan terluka disebut terlalu mementingkan karier.

Aku pernah menangani kasus kekerasan lahir-batin oleh seorang suami kepada istri yang sudah mendampinginya sejak dirinya belum memiliki materi serta jabatan. Suami ini sudah menyakiti dengan memukul ketika mereka berdua bertengkar bahkan  di depan anak pertamanya. Si anak pertama sampai berkali-kali diopname karena psikosomatis (sakit fisik yang disebabkan oleh pengaruh psikologis).  Belum lagi, di luar pulau sana, si suami ini rupanya berselingkuh dengan rekan sekantor. Si istri saat itu sangat berat memutuskan lanjut atau berhenti karena alasan cinta dan merasa dia yang sudah berperan membantu dan mensupport suaminya dari bawah. Note: Secara pribadi, duuuhh gregetan saiah.

Aku sangat memahami dan menghargai laki-laki secara agama memiliki tanggung jawab yang besar menjadi Imam. Tanggung jawab itu berupa di dunia dan akhirat dan sudah tercantum dalam kitab suci Al Quran. Pasti ada hikmahnya mengapa Allah memberikan laki-laki  tanggung jawab sebagai pemimpin rumah tangga. Aku sekarang paham dengan air mata kakak sewaktu mengucapkan ijab qabul di akad nikahnya. Waktu itu aku sempat berpikir, kakakku cengeng banget ya akad nikah kok ndadak nangis. Ketika mengamati kondisiku sendiri,  teman-teman bahkan klien yang berkonsultasi, aku jadi paham arti air matanya.

Ada artikel menarik tentang alasan laki-laki menutuskan menikah, silakan dibaca di link berikut  https://azzahrawo.wordpress.com/2014/05/06/keanehan-laki-laki-dalam-memutuskan-menikah/  Ada survei yang dilakukan oleh Psikiater Alan Gratch, PhD tentang faktor penting yang mendorong lelaki untuk berkomitmen lebih serius dalam menjalin hubungan dengan perempuan. Faktor penting itu adalah tentang kesiapan menikah.

Banyak perempuan berpikir bahwa lelaki pasti akan segera melamar jika dia sudah menemukan perempuan idaman yang paling cocok dengan harapannya. Perempuan juga berpikir bahwa lelaki pasti akan melamar jika dia memang benar-benar cinta. Tapi Alan Gratch berpendapat berbeda. Ternyata cinta dan kecocokan saja tidak cukup bagi lelaki untuk segera melamar dan menikahi kekasihnya.

Ada faktor yang sangat penting bagi laki-laki, yaitu kesiapan. Gratch yang selama 25 tahun meneliti dunia percintaan lelaki menemukan, sebanyak 49% lelaki menikah karena faktor telah menemukan “the one”, sedangkan 51% lelaki menikah karena faktor kesiapan.

Kecocokan itu memang penting bagi kaum lelaki, namun jika kesiapan dalam dirinya belum memadai, maka tidak ada yang dapat memaksanya untuk menikah, bahkan oleh perempuan yang telah merasa sebagai “the one” bagi lelaki itu sekalipun. Tetapi anehnya, lelaki akan mudah menemukan perempuan yang tepat di saat ia merasa telah siap untuk menikah. Tidak memerlukan waktu yang terlalu lama bagi laki-laki untuk segera menemukan jodohnya saat ia sudah merasa memiliki kesiapan menikah.

(noted: Menarik dan membuka wawasan yaaa) 🙂 

Aku sangat menghargai laki-laki yang bekerja keras untuk mempersiapkan pernikahan dan mulai saat ini aku pasti akan mempertimbangkan jika hadir seorang laki-laki yang sudah “siap” bukan semata-mata karena aku tertarik, “feel something” entah karena dia punya kualifikasi seperti ganteng, smart, kaya raya, punya pekerjaan yang mapan, punya hobi yang sama.

Pernah kepikiran, duhhh emang stok laki-laki bertanggung jawab dan dewasa di dunia ini sudah menipis kali ya 😦 kok banyak  teman-teman dan klienku yang menikahi seseorang dengan tubuh dewasa tapi kepribadian the little boy (or malah the baby boy???)

I don’t think so, I trust to Allah di luar sana banyak laki-laki ready for commitment lahir&batin, “waras/mindful/sadar” treat you with full kindness/cinta kasih, respect you as you are, yang dewasa dan bertangung jawab. Dan tentu saja, he must be into you. You just find him with your full attention, not with your bad emotion. Jangan grusah grusuh dan terpengaruh desakan, tuntutan orang luar untuk memutuskan yang satu ini.

laki2 2PENGARUH KEPRIBADIAN DAN POLA ASUH PEMBENTUK LITTLE BOY

Aku mengamati, dari cerita teman-teman dan juga klienku yang memiliki tipe suami a little boy memiliki pola asuh yang terlalu dilindungi serta cenderung merasa diabaikan. Suami Temanku yang sedang proses perceraian itu mengalami pola asuh yang cenderung dilindungi karena memiliki keterbatasan di salah satu bagian fisiknya. Bisa jadi karena Orangtua merasa takut terjadi bahaya dengan anak laki-lakinya, akhirnya memperlakukan dirinya sebagai anak yang selalu dilindungi, bahkan ketika pernikahan berada di proses perceraianpun orangtua masih melindungi anaknya, dengan meminta temanku untuk tetap menampung tinggal di rumahnya.

Suami temanku yang sudah merasa lelah menjalin pernikahan ini rupanya memiliki latar belakang pola asuh yang cenderung diabaikan karena orangtuanya sudah meninggalkan dia tumbuh sendiri. Mungkin ada banyak lagi yang mempengaruhi seorang laki-laki tidak tumbuh secara dewasa.

PERHATIKAN KECENDERUNGANMU,  LADIES

Saat ini usiaku sudah terbilang sangat sangat matang. Teman-teman seusia dan lebih muda saja rata-rata sudah menikah dan memiliki anak (lebih dari 1 atau 2).

Dulu aku sempat merasa minder dan malu dengan statusku yang masih single dan jomblo even sampai detik ini. Sekarang, aku merasa bersyukur  tahun 2015 berani meninggalkan proses taaruf yang sudah menyedot energiku sehingga butuh  pemulihan sekitar 1 tahun dengan laki-laki yang secara usia sudah sangat matang (usia 30an lebih namun kelakuannya seperti a little boy bahkan baby boy).

Aku  meyakinkan diri sendiri, meskipun usia sudah matang aku percaya mendapatkan jodoh yang matang dan bertanggung jawab dan “waras” lahir batin. Bukan tipe orang yang menyedot energiku dengan cerita keluhan-keluhannya tentang masa lalunya, tentang kekurangannya. Bukan pula laki-laki yang merasa terancam dengan posisiku sebagai Psikolog lulusan S2 sehingga dia mengajakku untuk jualan gorengan atau berada di rumah saja. Beberapa bulan menjalani interaksi dengan dia meskipun kebanyakan lewat BBM, energinya membuatku menjadi orang yang paling bodoh sedunia, gak punya cita-cita dan tujuan hidup. Apalagi seumur hidup ya??

Aku menyadari kondisiku sebagai wanita yang cenderung maskulin, selalu ingin rempong termasuk rempong merawat seseorang/sesuatu. Bahkan ketika bekerja dan berorganisasi, aku selalu sebagai pihak yang paling rempong adalah status siaga 1 menarik tipe laki-laki yang ingin diemong secara psikologis :-).

Ingat seorang selebriti yang berprofesi mengelola penonton bayaran? Dia beberapa kali menikahi laki-laki yang secara fisik nampak tampan tapi selalu jadi pihak yang justru dinafkahi oleh si selebriti tadi. Semua biaya hidup ditanggung oleh pihak wanita. Hemmm, pernikahan selebriti tersebut yang aku hitung 3 kali bersama suaminya berakhir di meja persidangan cerai.

Profesiku sebagai Psikolog, notabene bergerak di bidang psikoterapi, mendengarkan keluhan orang lain dengan penuh empati, juga menarik seorang laki-laki yang memanfaatkan profesiku untuk menyembuhkan dirinya. Dulu aku merasa senang jika ada yang datang dengan kondisi aku “dibutuhkan”.

Right now, Aku tidak mengizinkan diri sendiri menghabiskan waktu dan energiku dengan laki-laki seperti itu untuk mendapat cinta, perhatian dan hatinya. Imho It’s your own JOB Man, not mine. Aku bukan tempat yang tepat untuk menyembuhkanmu.

Ada lagi yang punya pengalaman lain???

So, setiap orang memiliki masa lalu, memiliki luka-luka masa lalu yang bisa jadi mempengaruhi pola kita berhubungan dengan orang lain. Jika ada luka dan butuh bantuan profesional, just do it. Lakukan yang terbaik untuk kedamaian hatimu dan untuk kehidupan pernikahanmu. Aku rasa pernikahan yang kokoh adalah sesuatu yang layak kita perjuangkan dan prioritaskan. Untuk mendapatkan pernikahan yang kokoh dibutuhkan laki-laki dan perempuan yang sama-sama “sadar” dan kuat. Aku tidak setuju dengan istilah kita bertemu jodoh untuk saling melengkapi 😉 Kita adalah satu tim dengan pasangan kita.

Kita semua layak mendapat pasangan yang terbaik untuk dunia-akhirat yang tumbuh saling mencintai dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tumbuh bersama untuk menjadi diri  terbaik dari masing-masing individu.

Dan apapun kelebihan dan kekurangan dirimu it’s oke. Terima sebagai bagian dari diri dengan penuh kasih sayang.  Aku rasa tidak ada orang yang steril dengan luka batin karena hidup lebih sempurna jika seluruh yang hadir diterima dengan penuh CINTA.

 

My prayer : I am so lucky, grateful and feel Blessed find him. Please note this article 🙂

http://www.awaken.com/2016/09/sacred-dreams/

If you find Him. Be Grateful to God….

 

 

Semarang, 4 Juli 2017

WITH LOVE

Arum Sukma Kinasih

Tinggalkan komentar